2015-03-02

Laki - lakiku berwajah sugul dan riaknya tertera pada parut di lengan kiriku



Aku sering menginginkan namamu. Menyerumu dengan rasa paling agung. Melihat kau berjalan dengan penuh rumit. Memegang bayang tubuhmu dengan teruja. 

Kadang - kala, aku melalui tempat beradumu. Mengintai - intai di balik rona warna ungu bangunan. Mengira - ngira detik kau akan menjengahkan kepala melihat ke luar. Tempat kau bergelak ketawa, sengaja aku lewati. Tapi aku cukup segan. Mana tahu, waktu itu kau sedang enak menikmati makanan bersama gadismu. Aku tidak ingin tahu namun sering perasaan pedih itu muncul.

Ada sesetengah masa, aku berhenti mengambil peduli. Aku meyakinkan diriku ini bukan selama - lamanya cinta. Ini hanya lintasan perasaan yang terkilan di bawah rombakan angin kumulonimbus. Ada juga detik aku sedang berjogging, lirikan matamu berdesup melintas. Meronta - ronta ingin menyakitiku. Sayang, aku lelah.

Kataku pada jantung berdegup dan hati yang sedang sibuk bekerja dalam tubuhku, pertahankanlah dirimu. Aku kadang tidak langsung mampu menduga kebahagiaan organku. Apakah pada saat aku terlupa akanmu, atau saat kau bisa membalas pesanan ringkas?. Atau sebenarnya, aku ditipu oleh cecair di dalam otakku. 

Laki - lakiku yang kini telah menjadi miliknya, kau sebenarnya sedang merasakan apa? Kau bahagia dengan gadis jinjangmu?. pastinya ya bukan. Duhai laki - lakiku beraut wajah panjang dan bermata kecil, aku tidak bahagia melihat kau bahagia. Malah aku berduka seduka dukanya. Aku kadangkala berdoa yang bukan - bukan. Kemudian, aku tersedar. Kesakitanku hanya kecil dibandingkan dirimu. Dan aku, tidak selayaknya menghentikan senyuman penuh ghairahmu. 

Sebesar daun markisar yang singgah di telapakku, sehangat mana aku menginginkan namamu, sejauh itu juga kau tidak mampu kembali.













1 comment:

How Covid - 19 pandemic made me come back as Kebaya Sendat Sepatu Merah

  It's been a while. As for me to start writing again. I've been losing myself for the past few years. I missed blogging. Showing of...